Koleksi ini merupakan cerita tentang Indonesia yang diekspresikan melalui cara kontroversial,” ungkap desainer asal Surabaya tersebut.Di tangan Lenny, kebaya tidak lagi tampil klasik menggunakan kain ataupun songket, melainkan terlihat kontemporer dalam kemasan kosmopolitan, segar, muda,tapi tetap feminin. Melalui pertunjukan tersebut, Lenny juga ingin menyampaikan semangat berbeda dalam cara berpakaian. ”Ada sisi lain untuk menampilkan diri di tengah gaya gaun malam glamor yang tengah menjadi arus besar dunia mode Indonesia belakangan ini,” tuturnya.
Inspirasi koleksi tersebut, ungkap dia, diambil dari gaya hidup anak muda zaman sekarang, yang sudah terpengaruh budaya internasional. Sayangnya, terkadang lupa kekayaan yang dimiliki negerinya, padahal mereka adalah generasi muda Indonesia. Prihatin akan hal tersebut, dia menghadirkan ”Controverchic”, sebuah koleksi yang menampilkan gaya Indonesia,tapi sarat unsur internasional. Dengan gaya Harajuku yang kental, desainer yang mulai berkiprah sejak 2002 ini mencoba memberi napas baru dengan menabrakkan bentuk modern dengan unsur tradisional secara independen.
Maka itu, wajar bila dalam pagelaran tunggal perdananya yang digelar di ballroom Hotel Four Season, Jakarta, hadir bentukan busana yang dinamis, chic, meskipun terkesan cuek dan agresif. Kekuatan dan daya tarik koleksi terlihat pada kekayaan padu padan yang tidak biasa. Rancangan yang dibawakan dalam kombinasi luwes, cenderung bermain pada atmosfer kaum muda yang bebas dan genit. Sebanyak 60 koleksi dihadirkan alumni Akademi Seni Rupa & Desain Mode ISWI ini dalam tiga babak, daywear, cocktail,dan busana pengantin.
Potongan pendek dan mini menjadi ekspresi utama Lenny untuk menggambarkan kemudaan. Itu terlihat dari paduan modifikasi kebaya modern dan rok tutu ala balerina. Selanjutnya, gaun batik baby doll terlihat funky saat dihadirkan bersama legging bercorak. Lainnya, dia memberikan alternatif baru melalui kebaya modifikasi yang dipasangkan dengan celana superpendek dari kain tenun. Tak kehabisan ide, rok mini dari kain tenun Sumba dipadukan finalis ”Perancang Etnik Perempuan Citra 1999”tersebut bersama blus pendek metalik untuk memberikan sentuhan futuristis. Cocktail dress menjadi bentuk yang sama sekali baru. Bukan mengandalkan terusan maupun gaun pendek, melainkan modifikasi kebaya dengan detail maksimal.
Lenny menambahkan berbagai aksen, baik puff, kerut, teknik origami, maupun penggunaan korsase. Tak lupa sentuhan glamor dengan aplikasi payet, untaian rantai logam, detail lace, serta embroidery mewah di sela-sela material batik dan tenun. Penggunaan bahan tradisional tersebut, menurut dia, adalah elemen utama rancangannya. ”Dengan begitu, anak muda pun bisa menggunakan kain Nusantara tanpa merasa canggung akan terlihat kuno, melainkan tetap chic dan sesuai tren masa kini,” paparnya. Kendati begitu, terdapat kekhawatiran koleksinya yang begitu bebas dengan menetapkan garis rancangan ringan akan merusak citra kebaya dan pakem busana tradisional itu sendiri. Mengomentari hal itu, desainer yang menjabat sebagai bendahara Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) ini menjawab kalem.
”Pakem kebaya tetap dipertahankan, tapi cenderung mengadaptasi bentukan modern. Pada dasarnya, kebaya selalu berubah mengikuti zaman dan itu merupakan salah satu cara melestarikan busana tradisional,” ucapnya. Satu hal yang pasti, rancangan Lenny selalu mengutamakan kenyamanan selain gaya. Karena itu, lima gaun pengantin yang menutup pagelaran tidak lagi hadir dalam bentukan bervolume yang sarat detail. Namun, lebih sederhana dengan mengambil potongan pendek yang disisipi aksen gembung, bustier, bolero, dan detail mutiara untuk kesan elegan.